Selasa, 18 Januari 2011

Dampak Perubahan Iklim Bagi Dunia Pertanian dari Sudut Pandang Ilmu Kimia

Isu lingkungan mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah karena kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Banyak masalah lingkungan, khususnya lingkungan pertanian yang saat ini menjadi masalah nasional diangkat menjadi masalah internasional.
Dalam bidang pertanian, penggunaan pestisida yang berlebihan atau penanganan hama dan penyakit yang kurang tepat akan berpotensi mencemari lingkungan, seperti penggunaan pestisida yang residunya dapat menimbulkan endocrine disrupting activities( EDs) atau gangguan pada sistem endokrin (hormon reproduksi) pada manusia. Dilaporkan bahwa 17 jenis pestisida yang beredar di Indonesia dan digunakan petani ditenggarai dapat menimbulkan EDs, yaitu 2,4D,alaklor, benomil, karbaril, sipermetrin, dikofol, endosulfan, esfenvalerat, etilparation, fenfalerat, malation, mankozeb, metomil, metiram, metribuzin, trifularin, dan vinklozolin.
Selain itu residu dari pestisida yang tergolong ke dalam persistent organic pollutants (POPs), yaitu residu dari pestisida yang tidak dapat diuraikan secara alamiah oleh alam sehingga membutuhkan bantuan manusia untuk mendegradasikan residu tersebut secara biologis maupun kimia, yaitu pestisida jenis aldrin, heksa-klorobenzena, klordan, mirex, dieldrin, toksafan, DDT, dioksin, endrin, furans, heptaklor, dan PCBs sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah Indonesia untuk mendegradasinya karena saat ini pestisida tersebut sudah digunakan secara umum oleh petani di Indonesia terutama di Pulau Jawa padahal pestisida tersebut dapat merusak pertumbuhan tanaman utama (padi) dalam jangka panjang. Beberapa insektisida yang sudah dilarang digunakan di lingkungan pertanian tetapi saat ini masih ditemukan pada tanah, air dan beberapa komoditas pertanian, seperti residu organoklorin (linden, aldrin, dielrin, heptaklor, DDT dan endrin).
Pengaruh negatif dari penggunaan pestisida pada tanaman terlihat antara lain dari tingginya tingkat residu pestisida pada beberapa sayuran, tanaman pangan, air sumur, dan sawah serta dalam darah petani (human blood). Dilaporkan bahwa pada tanaman air dan sayuran di daerah Jawa Tengah dan Bali ditemukan kandungan residu insektisida organoklorin dan organofosfat dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Beberapa sayuran seperti tomat, kubis, dan wortel di Lembang, Pangalengan dan Kertasari, Bandung juga mengandung residu pestisida profenofos, deltametrin, klorpirifos dan permetrin. Jika sayuran tersebut dikonsumsi secara terus-menerus tanpa memperhatikan cara pengolahan yang baik, kemungkinan akan menyebabkan keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya.
Permasalaha utama dunia pertanian di Indonesia adalah ketika dimulainya “Revolusi hijau” pada pemerintahan Orde Baru yang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan, seperti padi, jagung dan kentang yang meningkat tajam akibat pertambahan penduduk yang meningkat dengan cepat. Pada saat itu produksi pangan dari tanaman maupun hewan dipacu dengan menggunakan pupuk kimiawi secara besar-besaran tanpa memperhitungkan residu kimiawi dari pupuk tersebut dalam jangka panjang. Akibatnya petani dan tanaman di Indonesia sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia ketika saat ini muncul trend untuk diganti pengggunaannya dengan pupuk kandang (pupuk alami dari kotoran hewan) ternyata hasil panenan yang didapatkan tidak sebesar dengan penggunaan pupuk kimiawi, sehingga petani di lapangan tidak mau mengganti seluruh penggunaan pupuk kimiawi dengan pupuk kandang. Sehingga saat ini ditemukan pencemaran pada bahan agro, misalnya komoditas pangan, pakan ternak, ikan, tanah, air irigasi dan lain-lain akibat penggunaan insektisida yang umum ditemukan.
Selain permasalahan pestisida dan revolusi hijau, produksi gas CO2 (karbon dioksida) yang berlebihan ikut berperan dalam peningkatan efek rumah kaca. Gas CO2 sangat diperlukan tanaman untuk keperluan fotosintesis guna penyusunan karbohidrat namun  produksi gas CO2 yang berlebihan mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemanasan global dalam bentuk gas rumah kaca (GRK). Secara teoritis, gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa gas rumah kaca di atmosfir, suhu permukaan bumi diperkirakan mencapai -18oC. Namun konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang berlebihan di atmosfir berdampak buruk karena panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi akan lebih banyak sehingga suhu bumi semakin panas.
Karbon dioksida adalah salah satu gas penyusun komponen gas rumah kaca (GRK) yang konsentrasinya di atmosfer mendapat prioritas untuk diturunkan. Peningkatan konsentasi  CO2 disebabkan oleh tidak seimbangnya antara besarnya sumber emisi (source) gas CO2 karena perkembangan industri, tingginya pemakaian bahan bakar fosil, dan penggundulan hutan alam dibandingkan dengan penguraian CO2 oleh tanaman hidup.
Gas pengusun gas rumah kaca (GRK) lain yang perlu mendapat perhatian adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrooksida (N2O), O3, kloorroflurokarbon (CFC), hidrokloroflurokarbon (HCFC), hidroflurokarbon (HFC), perflurokarbon (PFC) dan sulfur heksa florida (SF6). 

Saran perbaikan bagi masyarakat dan pemerintah ke depan
Antisipasi dan penanggulangan permasalahan di atas dikemukakan secara jelas dalam revitalisasi pertanian, bahwa peningkatan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) para petani serta pengembangan riset dilakukan melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, spesifik lokasi, dan ramah lingkungan. Pengelolaan lingkungan pertanian harus lebih diintensifkan dan disesuaikan dengan kondisi setempat, meliputi sumber daya alam dan kebiasaan petani. Upaya untuk memperbaiki dan menjaga lingkungan pertanian adalah sebagai berikut:
1.       Penerapan teknologi remediasi pencemaran lingkungan pertanian difokuskan pada upaya penanggulangan objek yang terkena dampak pencemaran, yaitu lahan sawah dan produknya (tanah, air, tanaman/produk pertanian). Teknologi pengolahan lingkungan pertanian yang tercemar, meliputi: (a) fitoremediasi, yaitu memanfaatkan fungsi tumbuhan yang dapat menyerap, mendegradasi, mentransformasi, dan menekan pergerakan bahan pencemar; (b) bioremediasi untuk meminimalkan pencemaran dengan memanfaatkan mikroorganisme yang mampu mendegradasi residu pestisida maupun logam  berat; dan (c) kemoremediasi, yaitu memodifikasi tingkat kemasaman tanah melalui pengapuran, pemberian bahan organik untuk menekan pergerakan logam berat di dalam tanah, dan penambahan karbon aktif ke dalam tanah untuk menurunkan residu pestisida dalam produk pertanian.
2.       Mitigasi gas rumah kaca (GRK) dilakukan berdasarkan prinsip bahwa emisi gas rumah kaca (GRK)  yang dikeluarkan harus lebih kecil dari rosot (zink). Penurunan CO2 dilakukan dengan prinsip emisi CO2 harus lebih kecil dari CO2 yang ditambat tanaman. CO2 termasuk gas yang mudah didegradasi atau ditambat, demikian pula N2O mudah didegradasi.

Gambar 1. Penggunaan pestisida oleh petani yang seringkali melebihi dosis yang diperlukan tanaman



Tidak ada komentar:

Posting Komentar